ARTIKEL SAFETY RIDING


Friday, June 8, 2007

Mengapa Peraturan Begitu Sulit Untuk Dipatuhi


Dari hari ke hari pelanggaran rambu-rambu lalu lintas semakin memprihatinkan. Selain bisa kita amati sendiri perkembangannya setiap hari, kecenderungan berkurangnya ketertiban pengguna jalan bisa kita lacak dari maraknya surat-surat pembaca di media massa yang isinya mengeluhkan keadaan ini.

Peraturan pada dasarnya dibuat dengan tujuan untuk mempermudah kehidupan manusia. Coba kita bayangkan bila di jalanan tidak ada peraturan, tidak ada rambu-rambu lalu lintas, dapat dipastikan setiap pengguna jalan akan berbuat seenaknya sendiri tanpa mau mengindahkan kepentingan orang lain.

Setelah peraturan dibuat ternyata tidak ada jaminan bahwa peraturan tersebut akan dipatuhi. Coba kita lihat kondisi di Indonesia. Rambu-rambu lalu lintas seakan hanya menjadi hiasan yang tidak memiliki makna apa-apa. Praktis hanya lampu lalu lintas saja yang di patuhi, itupun pada ruas jalan tertentu saja. Perilaku yang tidak tertib ini diperparah dengan pertambahan jumlah kendaraan yang sulit dibendung sementara jumlah pertambahan ruas jalan tidak mampu mengimbanginya.
Jika memang peraturan dibuat untuk mempermudah kehidupan manusia pertanyaan besar yang muncul adalah: "Mengapa peraturan tersebut sering dilanggar?".

Lingkungan, Perilaku dan Konsekuensi
Manusia memang individu yang kompleks sehingga perilakunya juga tidak sederhana. Perilaku manusia tidak sekedar memperhitungkan untung dan rugi saja. Bisa jadi perilaku yang tampak merugikan dimata seseorang akan dianggap menguntungkan bagi orang lain. Bagaimana seseorang berperilaku, secara garis besar bisa dijelaskan melalui penguatan kontigensi (contigency of reinforcement) .

Perilaku manusia melibatkan tiga komponen utama yaitu kondisi lingkungan tempat terjadinya perilaku tersebut, perilaku itu sendiri dan konsekuensi dari perilaku tersebut. Berulang atau tidak berulangnya suatu perilaku dipengaruhi oleh keadaan tiga komponen tersebut. Penjabarannya dalam perilaku berkendaraan di jalan raya cukup sederhana. Misalkan seorang pengendara berada di persimpangan jalan yang sepi (kondisi lingkungan) kemudian ia memutuskan untuk melanggar lampu lalu lintas (perilaku). Konsekuensi dari perilaku ini adalah perjalanan yang lebih cepat. Selain itu pengendara tersebut juga tidak ditangkap petugas karena memang tidak ada petugas di persimpangan jalan tersebut. Perilaku pelanggaran seperti ini akan cenderung diulangi karena mendapat penguatan positif atau hadiah yaitu proses perjalanan yang lebih cepat dan tidak tertangkap oleh petugas.

Skenario yang muncul akan berbeda bila situasinya berbeda pula. Pada situasi persimpangan jalan yang dijaga oleh petugas (kondisi lingkungan) seorang pengendara berkeputusan untuk melanggar lampu lalu lintas. Konsekuensinya ia akan ditangkap oleh petugas dan mendapatkan surat tilang. Perilaku pelanggaran seperti ini akan cenderung tidak diulangi karena mendapatkan penguatan negatif (hukuman) yaitu berupa surat tilang yang tentu saja bermuara pada denda yang harus dibayar.

Peraturan
Peran peraturan pada penguatan kontigensi adalah mendeskripsikan baik secara lisan, tulisan ataupun simbol, hubungan antara ketiga komponen penguatan kontigensi tersebut. Secara garis besar peraturan menjelaskan hubungan sebab akibat dari dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku. Rambu dilarang parkir apabila di jabarkan dalam tiga komponen penguatan kontigensi akan berbunyi seperti ini: dilarang parkir disini (kondisi lingkungan), bila Anda melanggar (perilaku) maka Anda akan di beri surat tilang (konsekuensi) .

Bagi semua pengguna kendaraan bermotor pasti sudah paham betul arti dari rambu-rambu lalu lintas yang ada dijalanan. Walaupun demikian ternyata pemahaman ini belum cukup untuk mendorong pengguna jalan mematuhi rambu-rambu tersebut. Ada berbagai hal yang menyebabkan pengendara gagal untuk mematuhi rambu-rambu tersebut.

Dilihat dari konsekuensi yang mungkin timbul, kegagalannya terletak pada probabilitas kemunculan konsekuensi negatif yang kecil. Walaupun pengendara tahu bahwa tidak menggunakan helm sangat berbahaya namun mereka tetap berkeras untuk tidak memakai helm. Pengendara tersebut menganggap bahwa kemungkinan dirinya untuk terjatuh ataupun ditangkap petugas sangat kecil sehingga walaupun tidak menggunakan helm ia tetap selamat. Mungkin suatu ketika pengendara tersebut tertangkap petugas namun alih-alih mendapat surat tilang, ia justru bisa melenggang dengan memakai uang "pelicin". Uang "pelicin" tersebut bukan merupakan konsekuensi negatif melainkan justru menjadi konsekuensi positif bagi pengendara karena ada semacam rasa bangga bahwa dirinya bisa mengelabui petugas dengan beberapa lembar rupiah. Kenyataan bahwa perilaku tidak memakai helm ini mendapatkan konsekuensi positif membuat pengendara tersebut cenderung untuk mengulangi perilaku tersebut.

Penyebab kegagalan kepatuhan terhadap peraturan dari segi kondisi lingkungan bisa di jabarkan dalam skenario berikut ini. Suatu ketika pengendara tersebut mencoba menggunakan helm, namun keadaan yang ia hadapi adalah bahwa banyak pengendara lain yang ternyata tidak menggunakan helm tidak mendapat sanksi apa-apa, selain itu ia juga merasa tidak nyaman ketika memakai helm karena terasa gerah. Keadaan ini menggambarkan adanya konsekuensi negatif ketika pengendara tersebut berusaha mematuhi peraturan dengan menggunakan helm. Konsekuensi negatif tersebut berasal dari rasa tidak nyaman dan umpan balik sosial yang memperlihatkan bahwa tidak menjadi masalah bila pengendara tidak menggunakan helm.

Dua skenario diatas menunjukkan bahwa terjadi suatu fenomena yang bertentangan dengan hukum-hukum belajar perilaku yaitu bahwa perilaku yang buruk harus mendapatkan hukuman (konsekuensi negatif) sementara perilaku yang baik harus mendapatkan hadiah (konsekuensi positif). Kenyataan yang terjadi adalah bahwa perilaku buruk akan mendapatkan konsekuensi positif sementara perilaku yang baik akan mendapat konsekuensi negatif.

Tidak adanya konsistensi antara lingkungan, perilaku dan konsekuensi inilah yang menjadikan perilaku pengguna jalan semakin lama semakin memburuk. Dan hal ini sama sekali tidak berhubungan dengan sikap mental dari pengguna jalan tersebut.

Bukan masalah sikap mental
Selama ini kita sering mendengar dari petugas ataupun tokoh masyarakat bahwa sangat sulit untuk mengubah sikap mental pengendara kendaraan bermotor menjadi pengguna jalan yang tertib dan perlu waktu bertahun-tahun untuk mengubah sikap mental tersebut. Berdasarkan hasil penelitian masalah perilaku, sebenarnya kita tidak perlu mengubah sikap mental pengguna kendaraan bermotor. Alasannya adalah pertama karena sikap mental mereka sebenarnya sudah pada taraf yang positif, namun justru kondisi lingkungan dan konsekuensi dari perilaku di jalanan yang "memaksa" mereka untuk melanggar peraturan. Coba saja tanyakan pada pengendara yang tidak memakai helm, penting atau tidak kah menggunakan helm di jalan raya. Pasti mereka semua sepakat bahwa menggunakan helm tersebut sangat penting untuk keselamatan. Namun kenyataannya mereka tetap tidak menggunakan helm.

Alasan yang kedua yaitu sebenarnya tidak relevan usaha untuk mengubah perilaku dimulai dari usaha untuk mengubah sikap. Perubahan sikap mempunyai korelasi yang kecil dengan perubahan perilaku (Cooper, 1999). Walaupun kita melancarkan kegiatan semacam kampanye tertib lalu lintas (untuk mengubah sikap mental) dengan gencar namun jika kondisi lingkungan dan konsekuensi dari perilaku tersebut belum konsisten maka kegiatan semacam ini akan selalu menemui dinding tebal yang tidak bisa ditembus.

Konsekuensi yang konsisten

Solusi dari masalah perilaku pengguna jalan yang tidak kooperatif dengan peraturan ini sebenarnya sudah terdapat dalam uraian diatas. Yang pertama tentu saja mengkondisikan agar konsekuensi dari semua perilaku di jalanan selalu konsisten. Perilaku yang taat aturan akan selalu mendapatkan hadiah dan perilaku yang melanggar aturan akan selalu mendapatkan hukuman. Bagaimana keadaan ini dicapai? Apakah dengan menempatkan petugas pada setiap persimpangan jalan? Bisa jadi ini jawabannya, tapi tentu saja solusi semacam ini akan terbentur masalah sumber daya manusia (jumlah petugas yang terbatas). Namun yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana memastikan semua pelanggar peraturan lalu lintas selalu mendapat konsekuensi negatif. Konsekuensi negatif bisa berupa pemberian surat tilang ataupun dari feedback dari pengguna jalan lainnya. Dan harus dipastikan bahwa petugas ini tidak akan terpeleset dengan uang "pelicin". Keadaan ini sangat penting untuk mengembalikan fenomena di jalanan menjadi seiiring dengan hukum-hukum belajar perilaku.

Bila konsekuensi perilaku di jalanan telah konsisten maka perlahan kondisi lingkungan di jalan raya akan kondusif. Pengendara yang taat peraturan akan merasa mendapatkan reward dari lingkungannya yaitu adanya suasana tertib di jalan raya dan melihat bahwa banyak rekan pengendara yang taat peraturan. Selain itu pengendara yang taat akan melihat bahwa pengendara yang melanggar memang akan selalu mendapatkan hukuman. Dengan langkah ini perilaku pelanggaran akan berangsur berkurang karena selalu mendapat hukuman sementara perilaku taat akan semakin terbentuk karena selalu mendapat penguatan yang positif.

Benarkah solusi dari masalah diatas sedemikian sederhana? Solusi tersebut memang terlihat sederhana namun demikian dibalik itu terdapat "PR" yang besar bagi penegak hukum di Indonesia. Kepolisian harus menyiapkan jajaran yang bersih terlebih dahulu sebagai landasan keberhasilan metode ini. Hal ini harus dimulai dari proses rekruitmen yang bersih sehingga jajaran petugas yang terbentuk juga terdiri dari insan-insan yang betul-betul berfalsafah melindungi dan melayani masyarakat. Proses ini bisa berjalan simultan dengan usaha penerapan konsekuensi perilaku yang konsisten seperti disebutkan diatas.
SAFETY RIDING ON TARAKAN
Sumber : [url]http://www.inparametric.com/inparametric/content.php?article.8